Rabu, 02 Oktober 2013

Meditasi / Samadi ala Sunan Kalijaga



“Kang Sinedya tinekan Hyang Widhi,
Kang kinarsan dumadakan kena,
Tur  sinisihan Pangerane,
Nadyan tan weruh iku,
Lamun nedya muja samadi,
Sesaji ing sagara
Dadya ngumbareku
Dumadi sarira tunggal
Tunggal jati swara awor ing hartati
Aran sekar jampina”

“Yang diinginkan dikabulkan oleh Tuhan. Yang dikehendaki tiba-tiba didapat, dan dikasihi oleh Tuhan. Meskipun dia tidak tahu. Akan tetapi, ketika dia hendak melakukan puja samadi, dia memberi sajian di laut. Jadilah mengembara itu, untuk menjadi satu diri. Satu kesejatian, suara yang ada dalam Hartati. Itulah yang disebut bunga jampina.”
Bait diatas merupakan salah satu kidung Sunan Kalijaga yang mengajarkan meditasi untuk manunggal dengan Tuhan Yang Maha Esa. Bait di atas memberikan tuntunan bagi orang yang hendak bermeditasi. Ternyata melakukan meditasi tidak sama dengan olahraga pernapasan. Kalau olah raga yang diperhatikan hanya badan jasmani ini, tetapi dalam meditasi ada daya upaya, usaha, untuk meningkatkan kesempurnaan spiritual.
Pertama, bagi yang hendak melakukan samadi harus melakuan “sasaji ing sagara”, yaitu mengutamakan peranan kalbu. Sagara atau lautan dalam pandangan Jawa merupakan lambang bagi hati atau kalbu. Harus bisa mengendalikan hati sehingga pengembaraan perasaan, pikiran dan permana menjadi satu. Benar-benar menyatu dengan suara di dalam “Hartati”. Yaitu, didalam satu kehendak yang kuat untuk menyingkirkan dorongan hawa nafsu dalam samadi. Perlu diingat, hidup kita sekarang laksana orang yang baru meninggalkan Betal Mukadas. Kita tinggalkan rumah suci tersebut dengan menggunakan raga. Maka, didalam samadi semuanya yaitu perasaan, pikiran, napas dan suara zikir-kita gulung menjadi satu didalam Hartati yang ada di Betal Mukadas tempat kita berada sebelum lahir di dunia.
Dalam bahasa makrifat, puja samadi itu ditujukan untuk mengosongkan hati dari yang selain Allah, atau Gusti Dzat Maulana. Hasrat yang ada di hati lenyap. Pikiran sudah diam, tak mengembara lagi. Senyap dari ilusi, suara napas sendiri pun tak terdengar. Suara batin tatkala kita lantunkan dalam berzikir menghilang. Hanya ada cahaya keheningan. Dalam kondisi demikian, hanya Tuhan yang bisa masuk.
“ah...jangan-jangan itu suara setan terkutuk untuk menggoda kita. Jangan-jangan itu bisikan iblis yang menyelinap di dalam hati”
Setan, Iblis, lusifer atau apapun nama dan jenisnya tidak bisa masuk dalam rumah Tuhan. Rumah yang telah disucikan dari segala kotoran, najis dan hadas. Bukankah perasaan telah sirna?Perasaan iri, dengki, cemburu, dan marah telah terusir. Monyet-monyet pikiran yang biasa mengembara kemana-mana, telah diam dan tertidur nyenyak. Suara napas yang diperhatikan dalam tahap-tahap awal zikir, makin lama makin pelan kedengarannya dan akhirnya lenyap. Hasrat hati dan birahi sudah sirna, angan-anganpun telah tiada. Tak ada lagi sarana dan wahana bagi iblis untuk masuk ke dalam hati yang suci. Hanya Kuasa Tuhan yang dinanti!!!
Keadaan zikir(meditasi-red) yang begitu heneng dan hening, diam dan jernih, tanpa ada usikan sesuatu pun, dinamakan “Sekar Jampina”, kembang Jampina. Secara literal tanaman bunga jampina termasuk jenis bunga-bungaan berumbi dan umbinya bisa digunakan untuk obat. Sehingga keadaan samadi di atas bisa disebut sebagai kondisi yang selalu menyembuhkan. Artinya tidak ada penyakit hati lagi, tetapi jempina juga merupakan perpaduan tiga kata yang masing-masing terdiri dari satu suku kata, yaitu Jem, Pi dan Na. Jem berarti tenang, tenteram. Pi berhati sunyi, sepi, sembunyi. Sedangkan Na artinya diam, sunyi dari perasaan dan angan-angan, dan hasilnya perasaan tenang dan tenteram. Kata-kata tersebut merupakan kosakata Jawa Kawi. Dengan demikian puncak dari zikir (meditasi-red) adalah kondisi yang diam, sunyi dari perasaan dan angan-angan dan hasilnya perasaan tenang dan tenteram.
Kedua, samadi merupakan cara untuk membersihkan diri. Hal ini diungkapkan oleh Sunan Kalijaga pada bait ke-5 dalam Kidung Sukma Wedha sebagai berikut :
somahira ingkan penjari/milu urip lawan milu pejah/tan pisah ing saparane/paripurna satuhu/anirmala waluya jati/kena ing kene kana/ ing wusananipun ajejuluk adisukma/cahya ening jumeneng aneng Hartati/anom tan kena tuwa.”
“pasanganmu dinamakan Penjari/ikut hidup dan mati/tidak pernah berpisah dimanapun kamu berada/benar-benar sempurna/selamat bebas dari gangguan/dimana saja berada/yang akhirnya dinamakan adisukma/cahaya hening yang tinggal di Hartati/selalu muda tak tersentuh ketuaan.”
Pasangan (istri-red) dari Sukma Sejati (Diri Sejati) dinamakan “penjari”. Kata “penjari” berasal dari tiga kata yang bersuku tunggal pen, ja dan ri. Kata “pen” artinya  sembunyi atau rasa. Sedangkan “ja” artinya keluar dan “ri” bermakna literal duri. Dalam arti kiasan ri bermakna tajam. Nah di dalam manusia ada “rasa”. Dan ada sesuatu yang keluar dari rasa dan amat tajam bagi kehidupan, yaitu angan-angan dan keinginan. Angan-angan dan keinginan ini muncul setiap saat. Ia muncul ketika diam atau bergerak.
Ternyata dalam hidup ini, angan-angan dan keinginan merupakan pasangan hidup Diri Sejati kita. (Pasangan setia). Ia senantiasa mengikuti Sang Diri, baik dalam hidup ini maupun setelah mati. Ia tak mau berpisah dimana saja Sang Diri Berada. Ketika kita masih hidup di dunia ini, angan-angan dan keinginan menggunakan badan jasmani untuk bertindak. Kenikmatan dari luar yang diterima oleh badan jasmani ini akan menggerakkan angan-angan dan keinginan yang lebih besar.
Bagaimana keadaan angan-angan dan keinginan setelah manusianya mati?apa masih eksis?tentu saja tetap ada.Angan-angan dan keinginan itu laksana pakaian dalam kita. Meski pakaian luar sudah ditanggalkan, pakaian dalam tetap melekat ketika kita tidur. Angan – angan dan keinginan tak akan pernah sirna. Ia merupakan bagian dari “hidup”. Bukankah hidup tak pernah mati?Yang bisa mengalami mati hanyalah badan jasmani. Sukma Jati atau Diri Sejati tidak mati. Ia hanya hinggap dari raga ke raga. Kalau sudah menyelesaikan tugasnya sebagai Khalifah, ya kembali kepada-Nya, kembali ke Hadirat-Nya. Alam kedamaian puncak!!
Bila angan-angan dan keinginan itu dituruti terus-menerus, maka ia semakin lengket pada Sang Sukma Jati. Sulit untuk ditanggalkan, meskipun badan jasmani sudah mati, tapi ia tetap melekat pada Sang Diri. Seperti halnya di Bumi, kalau ia sekarang menyesatkan, maka setelah matipun menyesatkan. Bahkan menyebabkan Sang Sukma lebih tersesat lagi (QS Al-Isra’ [17];72 “Barangsiapa yang buta mata hatinya didunia ini, maka ia akan lebih buta lagi di hari nanti, bahkan akan semakin jauh dari jalan yang benar.”)
Samadi, meditasi atau zikir merupakan cara membersihkan diri dari tipuan angan-angan dan keinginan, dan cara untuk menimbulkan “Amal Saleh”. Apa amal saleh?yaitu segenap perbuatan dan tindakan yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya. Perbuatan lebih terkait dengan aktivitas batin manusia, misalnya cinta, benci, ketulusan dan lain-lain sedangkan tindakan terkait dengan amalan lahiriah manusia. Selama samadi / meditasi angan-angan dan keinginan benar-benar dikubur, dikosongkan!agar firman Tuhan yang tanpa suara dan kata itu yang terekam. Bersemilah benih cinta dan kerinduan untuk berbuat kebajikan. Kemudian secara lahiriah kebajikan itu dibuktikan dengan budi pekerti yang makruf. Budi Pekerti yang jelas diakui kebaikannya oleh masyarakat luas.
Ketiga, bila zikir yang dilakukan telah sempurna benar-benar angan-angan, pikiran dan ilusi telah lenyap maka batin sang pezikir selamat sentosa. Dia terbebas dari segala macam gangguan batin. Kecemasan dan kekhawatiran telah lenyap, tak ada lagi tempat bagi ketakutan. Di mana-mana sama saja, yang ada ketenangan dalam hidup.

Ditulis ulang dari Buku “Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga”, Achmad Chodjim;Meditasi dan Kontemplasi;172-178.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar