Rabu, 02 April 2014

Cakra Manggilingan : Esensi dan Konsepsi



Cakra diartikan seperti cakram / roda. Manggilingan berasal dari kata giling;bahasa jawa (berputar/menggerus). Cakra manggilingan gambaran dari cakram/roda yang berputar. Dalam khazanah cerita pewayangan Cakra Manggilingan atau cakra yang berputar dikenal sebagai senjata andalan Sri Kresna yang disebut Kalacakra. Esensi dari cakra manggilingan ini adalah waktu. Ya waktu lah yang membuat semuanya terjadi. Perubahan-perubahan yang terjadi sudah menjadi kodrat manusia ketika tercipta melalui dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun. Kejadian-kejadian yang akan dialami semuanya hanya tinggal menunggu waktunya terjadi. Konsepsi waktu sangatlah penting, bahkan kehidupan manusia di dunia pun dibatasi oleh waktu. Ketika masanya tiba, maka kita pun akan melepaskan raga / badan wadag ini. Yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah dan yang berasal dari Causa Prima akan kembali kepadaNya. Innalillahi wa innailayhi roji’un. Bahkan tentang waktu sendiri pun diabadikan dalam Al-Qur’an1 :

Wal-‘asr(i) [1] Innal-insana lafi khusr(in) [2] illal-lazina amanu [3] wa ‘ amilus-salihati wa tawasau bil-haqq(i), wa tawasau bis-sabr(i)

[1] Demi Masa ; [2] Sungguh manusia dalam kerugian ; [3] kecuali orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.

Setiap proses perjalanan hidup manusia akan selalu terikat dengan waktu. Hidup itu seperti roda yang berputar, demikian yang sering kita dengar dari para orang tua kita dahulu. Kenyataan dan faktanya memang demikian, salah satu contoh sebutlah seorang Da’i yang cukup terkenal di negeri ini. Begitu beliau muncul sebagai da’i, dalam waktu yang tidak lama beliau pun terkenal seantero Indonesia. penyampaian beliau yang sangat enak didengar dan menyejukkan hati para pendengar, tak urung menjadikan beliau memiliki banyak penggemar dari semua lapisan umur dan lapisan masyarakat. Tidak hanya dalam hal berdakwah, beliau pun mendapatkan keberlimpahan dari sisi bisnis beliau. Namun semuanya pun dalam waktu singkat runtuh ketika beliau mengambil keputusan yang tidak populer di masyarakat. Tidak hanya bisnis yang semakin menurun namun cacian, hinaan dan makian pun dituai akibat keputusan yang diambil. Namun sekarang, seiring dengan berjalannya waktu, sang Da’i pun muncul kembali dan tetap menjadi sosok yang dirindukan umat untuk nasehat-nasehat yang diberikan. Sekelumit kisah diatas hanyalah contoh sebagai penggambaran tentang kehidupan manusia. Ada saatnya berada di atas, ada saatnya berada di bawah. Ada saatnya kita mendapatkan pujian, ada saatnya pula kita mendapatkan hujatan dan makian. Hal tersebut menunjukkan dalam perjalanan waktu, manusia selalu hidup dan berkembang sesuai dengan irama yang dimiliki masing-masing. Proses perjalanan hidup tersebut, dalam pandangan hidup orang Jawa disanepakan dalam istilah Cakra Manggilingan. Filosofi atau keyakinan berputarnya roda kehidupan baik mikro maupun makro disebut dengan Cakra Manggilingan. 

Kesadaran manusia Jawa akan pentingnya konsepsi waktu, diwujudkan salah satunya melalui penanggalan Jawa / Sistem Kalender Jawa. Jika kalender masehi hanya terdiri dari hari (senin, selasa, rabu, dst), bulan dan tahun. Berbeda halnya dengan penanggalan Jawa, penanggalan jawa memuat atau menampung dari beberapa sumber penanggalan yang sudah ada yaitu budaya Islam, Budaya Hindu-Budha  dan sedikit dari budaya barat. Dengan adanya serapan dari berbagai budaya tersebut, maka kita mengenal sistem kalender yang bertingkat dan sangat lengkap. Kalender Jawa terdiri dari hari yaitu sapta wara / 7 hari: Minggu (Radite), Senin (Soma), Selasa (Hanggara), Rabu (Budha), Kamis (Respati), Jum’at (Sukra) dan Sabtu (Tumpak) dan Panca wara / 5 hari dikenal dengan pasaran : Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon. Pertemuan antara siklus harian 7 hari dan 5 hari dikenal dengan istilah Pakuwon / Wuku. Satu wuku mempunyai usia 7 hari. Jadi dalam siklus 1 bulan terdapat 4 wuku, sedangkan wuku sendiri ada 30 nama.
Dalam siklus bulanan/sasi, Sistem Kalender Jawa memiliki 12 bulan yaitu Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela, Besar. Penanggalan Jawa sebelumnya menggunakan Tahun Saka karena pengaruh Hindu-Budha saat itu, kemudian ketika di mulainya peradaban Islam di tanah Jawa tepatnya di Jaman Sultan Agung (1625 M), beliau merubah penanggalan Jawa lebih bernuansa Islami. perubahan tersebut dapat dilihat pada istilah penyebutan bulan/sasi ; bhs jawa. Sedangkan untuk angka tahun melanjutkan tahun Saka, bukan tahun Hijriyah hanya istilahnya di ganti dengan tahun Jawa. Saat itu penetapan Sistem Kalender Jawa pada tahun 1547 Saka, dilanjutkan menjadi 1547 Jawa.  Berbeda halnya dengan tahun masehi, yang hanya berhenti pada angka tahun. Sistem kalender jawa masih memiliki siklus diatas tahun yaitu Windu. Windu merupakan siklus 8 tahunan bagi masyarakat jawa, terdiri dari Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir, sedangkan siklus windu sendiri mempunyai 4 putaran (32 tahun jawa) yaitu Adi, Kuntara, Sangara dan Sancaya. Berkaitan dengan hal tersebut sangat jelas, jika masyarakat Jawa mempunyai kesadaran akan pentingnya Waktu, sehingga masyarakat Jawa dituntut untuk selalu siap dengan keadaan yang akan dihadapi, pada suatu saat kita mempunyai kebahagiaan, namun suatu saat pula kita akan menghadapi kesusahan. Ada kalanya kita dipuja-puja orang dan ada kalanya kita akan dicaci maki, dihujat oleh orang. Dengan memahami esensi Cakra Manggilingan yang tidak lain adalah waktu kehidupan yang terus berputar, maka kita bisa mempersiapkan diri kita untuk tidak larut dalam kebahagiaan atau kesedihan yang sedang dihadapi. Berlebihan dalam menikmati kebahagiaan bisa melupakan dan menyesatkan kita, bgitu juga sebaliknya jika terus larut dalam kesedihan maka kita hanya jalan ditempat dan tidak akan ada perubahan yang terjadi.

nggelemi kahanan (mau menerima kenyataan)  itulah kunci untuk mempersiapkan diri kita agar siap menghadapi kenyataan yang ada. Teori sederhana manusia jawa dalam meraih kebahagiaan hidup adalah saiki, neng kene, ngene, Aku Gelem!!(saat ini, disini, ditempat ini, saya bersedia).2 Apapun yang menjadi lelakon kita saat ini harus diterima dan dihadapi itulah kenyataan hidup di dunia, jadi konsep “menikmati” itu bukan hanya ketika kita sedang mendapatkan kebahagiaan/menerima rejeki yang melimpah saja. Ketika kita sedang menerima masalah pun harus diterima bukannya malah lari dari masalah atau sibuk menyalahkan orang lain. Itulah realita yang ada, manusia sibuk meghabiskan energi untuk mencari-cari kesalahan orang lain atau mengkambinghitamkan orang lain agar terhindar dari masalah. Padahal energi yang ada sebetulnya bisa disalurkan untuk kegiatan lain yang lebih bermanfaat. Kira-kira begitulah yang ingin disampaikan Ki Ageng Suryomentaram dengan teorinya, apa yang kita alami saat ini adalah buah dari apa yang kita lakukan di masa lalu. Jadi tidak perlu buang-buang energi karena masa lalu adalah masa usang yang tidak mungkin bisa diulang jadi apapun yang terjadi saat ini harus dihadapi dan diterima (ngundhuh wohing pakarti). Begitu juga dengan masa depan, adalah masa yang tidak menentu, masa yang masih belum jelas dan penuh dengan ketidakpastian. Sehingga tidak perlu membuang-buang energi bahkan cenderung mengumbar nafsu / keinginan yang pada akhirnya membuahkan sikap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginan. Lantas apa yang dilakukan agar masa depan bisa lebih baik dari sekarang? Jawabannya adalah Aku Gelem!! (saya bersedia), bersedia tentang apa?bersedia dengan apa yang dihadapi saat ini (nggelemi kahanan) atau dengan bahasa yang lain dikenal dengan sikap qanaa’ah3. Dengan memelihara pikiran yang positif yaitu menerima kenyataan dan melakukan yang terbaik untuk saat ini, tentu akan membuahkan hasil di masa depan insyaallah... Dengan kata lain masa depan ditentukan dari sikap dan pilihan kita saat ini,4 yang tentunya mempertimbangkan pengalaman di masa lalu. Manusia jawa dituntut untuk dapat melakukan “TRIWIKRAMA” dalam artian mampu mempertemukan tiga kekuatan yang ada dalam tubuh kita yaitu masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.5 dengan demikian orang yang dapat mengambil pelajaran pada setiap masa yang telah dilalui dan saat ini  dapat menjadikan manusia yang memiliki pola pikir visioner sehingga mampu menyongsong masa depan yang lebih baik.
Dengan memahami esensi cakra manggilingan adalah waktu, maka manusia jawa diharapkan tidak akan terjerumus ketika mendapatkan bahagia maupun terpuruk ketika sedang mendapatkan musibah. Semua itu sudah menjadi ketentuan dan dinamika kehidupan bagi setiap manusia. Langgeng tan ana bungah tan ana susah5..demikian yang disampaikan leluhur kita, bahagia dan susah adalah dua hal yang harus dihadapi dan dijalani dengan suka cita. Bahagia dan susah semuanya merupakan manifestasi dari apa yang telah kita lakukan di masa lalu dan apa yang akan kita lakukan disaat ini.

Rahayu Sagung Dumadi....



1.  Q.S Al-‘Ashr [103;1-3]

2.   Ngelmu Bahagia Kia Ageng Surya Mentaram..”Saiki, Ing Kene, Ngene, Aku Gelem”

3.  “Beruntunglah orang yang memasrahkan diri, dilimpahi rizki yang sekedar mencukupi & diberi kepuasan oleh Allah terhadap apa yang diberikan kepadanya.” (Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad & Al-Baghawy)
4.  QS. Ar-Ra’d ; 11 : “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali  kaum itu sendiri merubah apa-apa yang ada pada mereka”
5. Dedhy Wilwaktika  “Takdir Kehidupan tentunya tidak dapat dihindari, tidak pula bisa diulang kebelakang ataupun dipercepat menuju masa depan. Karenanya dalam kebudayaan Jawa, kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna harus mempunyai kemampuan TRIWIKRAMA. Artinya kita harus mampu mempertemukan tiga kekuatan tesebut adalah Masa Lalu, Masa Kini dan Masa yang akan datang. Mereka yang mampu melakukan pembacaan pertanda alam yang diberikan Tuhan di tiga waktu itu yang akan mampu menjadi pemimpin utama. Kemampan pribadinya berubah berlipat kali, dipewayangan digambakan berubah menjadi MAHARAKSASA.