“Kang Sinedya
tinekan Hyang Widhi,
Kang kinarsan
dumadakan kena,
Tur sinisihan Pangerane,
Nadyan tan weruh
iku,
Lamun nedya muja
samadi,
Sesaji ing sagara
Dadya ngumbareku
Dumadi sarira
tunggal
Tunggal jati
swara awor ing hartati
Aran sekar jampina”
“Yang diinginkan
dikabulkan oleh Tuhan. Yang dikehendaki tiba-tiba didapat, dan dikasihi oleh
Tuhan. Meskipun dia tidak tahu. Akan tetapi, ketika dia hendak melakukan puja
samadi, dia memberi sajian di laut. Jadilah mengembara itu, untuk menjadi satu
diri. Satu kesejatian, suara yang ada dalam Hartati. Itulah yang disebut bunga
jampina.”
Bait diatas merupakan salah satu
kidung Sunan Kalijaga yang mengajarkan meditasi untuk manunggal dengan Tuhan
Yang Maha Esa. Bait di atas memberikan tuntunan bagi orang yang hendak
bermeditasi. Ternyata melakukan meditasi tidak sama dengan olahraga pernapasan.
Kalau olah raga yang diperhatikan hanya badan jasmani ini, tetapi dalam
meditasi ada daya upaya, usaha, untuk meningkatkan kesempurnaan spiritual.
Pertama, bagi yang hendak melakukan
samadi harus melakuan “sasaji ing sagara”,
yaitu mengutamakan peranan kalbu. Sagara atau lautan dalam pandangan Jawa
merupakan lambang bagi hati atau kalbu. Harus bisa mengendalikan hati sehingga
pengembaraan perasaan, pikiran dan permana menjadi satu. Benar-benar menyatu
dengan suara di dalam “Hartati”. Yaitu, didalam satu kehendak yang kuat untuk
menyingkirkan dorongan hawa nafsu dalam samadi. Perlu diingat, hidup kita
sekarang laksana orang yang baru meninggalkan Betal Mukadas. Kita tinggalkan
rumah suci tersebut dengan menggunakan raga. Maka, didalam samadi semuanya
yaitu perasaan, pikiran, napas dan suara zikir-kita gulung menjadi satu didalam
Hartati yang ada di Betal Mukadas tempat kita berada sebelum lahir di dunia.
Dalam bahasa makrifat, puja
samadi itu ditujukan untuk mengosongkan hati dari yang selain Allah, atau Gusti
Dzat Maulana. Hasrat yang ada di hati lenyap. Pikiran sudah diam, tak mengembara
lagi. Senyap dari ilusi, suara napas sendiri pun tak terdengar. Suara batin
tatkala kita lantunkan dalam berzikir menghilang. Hanya ada cahaya keheningan. Dalam
kondisi demikian, hanya Tuhan yang bisa masuk.
“ah...jangan-jangan
itu suara setan terkutuk untuk menggoda kita. Jangan-jangan itu bisikan iblis
yang menyelinap di dalam hati”
Setan, Iblis, lusifer atau apapun
nama dan jenisnya tidak bisa masuk dalam rumah Tuhan. Rumah yang telah disucikan
dari segala kotoran, najis dan hadas. Bukankah perasaan telah sirna?Perasaan
iri, dengki, cemburu, dan marah telah terusir. Monyet-monyet pikiran yang biasa
mengembara kemana-mana, telah diam dan tertidur nyenyak. Suara napas yang
diperhatikan dalam tahap-tahap awal zikir, makin lama makin pelan kedengarannya
dan akhirnya lenyap. Hasrat hati dan birahi sudah sirna, angan-anganpun telah
tiada. Tak ada lagi sarana dan wahana bagi iblis untuk masuk ke dalam hati yang
suci. Hanya Kuasa Tuhan yang dinanti!!!
Keadaan zikir(meditasi-red) yang
begitu heneng dan hening, diam dan jernih, tanpa ada usikan sesuatu pun,
dinamakan “Sekar Jampina”, kembang Jampina. Secara literal tanaman bunga
jampina termasuk jenis bunga-bungaan berumbi dan umbinya bisa digunakan untuk
obat. Sehingga keadaan samadi di atas bisa disebut sebagai kondisi yang selalu
menyembuhkan. Artinya tidak ada penyakit hati lagi, tetapi jempina juga
merupakan perpaduan tiga kata yang masing-masing terdiri dari satu suku kata,
yaitu Jem, Pi dan Na. Jem berarti tenang,
tenteram. Pi berhati sunyi, sepi, sembunyi. Sedangkan Na artinya diam, sunyi dari perasaan
dan angan-angan, dan hasilnya perasaan tenang dan tenteram. Kata-kata tersebut
merupakan kosakata Jawa Kawi. Dengan demikian puncak dari zikir (meditasi-red)
adalah kondisi yang diam, sunyi dari perasaan dan angan-angan dan hasilnya
perasaan tenang dan tenteram.
Kedua,
samadi merupakan
cara untuk membersihkan diri. Hal ini diungkapkan oleh Sunan Kalijaga pada bait
ke-5 dalam Kidung Sukma Wedha sebagai berikut :
“somahira ingkan penjari/milu urip lawan
milu pejah/tan pisah ing saparane/paripurna satuhu/anirmala waluya jati/kena
ing kene kana/ ing wusananipun ajejuluk adisukma/cahya ening jumeneng aneng
Hartati/anom tan kena tuwa.”
“pasanganmu
dinamakan Penjari/ikut hidup dan mati/tidak pernah berpisah dimanapun kamu
berada/benar-benar sempurna/selamat bebas dari gangguan/dimana saja berada/yang
akhirnya dinamakan adisukma/cahaya hening yang tinggal di Hartati/selalu muda
tak tersentuh ketuaan.”
Pasangan (istri-red) dari Sukma
Sejati (Diri Sejati) dinamakan “penjari”. Kata “penjari” berasal dari tiga kata
yang bersuku tunggal pen, ja dan ri. Kata “pen” artinya sembunyi atau rasa. Sedangkan “ja”
artinya keluar dan “ri” bermakna literal duri. Dalam arti kiasan ri bermakna tajam. Nah di dalam manusia
ada “rasa”. Dan ada sesuatu yang keluar dari rasa dan amat tajam bagi
kehidupan, yaitu angan-angan dan keinginan. Angan-angan dan keinginan ini
muncul setiap saat. Ia muncul ketika diam atau bergerak.
Ternyata dalam hidup ini,
angan-angan dan keinginan merupakan pasangan hidup Diri Sejati kita. (Pasangan
setia). Ia senantiasa mengikuti Sang Diri, baik dalam hidup ini maupun setelah
mati. Ia tak mau berpisah dimana saja Sang Diri Berada. Ketika kita masih hidup
di dunia ini, angan-angan dan keinginan menggunakan badan jasmani untuk
bertindak. Kenikmatan dari luar yang diterima oleh badan jasmani ini akan
menggerakkan angan-angan dan keinginan yang lebih besar.
Bagaimana keadaan angan-angan dan
keinginan setelah manusianya mati?apa masih eksis?tentu saja tetap ada.Angan-angan
dan keinginan itu laksana pakaian dalam kita. Meski pakaian luar sudah
ditanggalkan, pakaian dalam tetap melekat ketika kita tidur. Angan – angan dan
keinginan tak akan pernah sirna. Ia merupakan bagian dari “hidup”. Bukankah hidup
tak pernah mati?Yang bisa mengalami mati hanyalah badan jasmani. Sukma Jati
atau Diri Sejati tidak mati. Ia hanya hinggap dari raga ke raga. Kalau sudah
menyelesaikan tugasnya sebagai Khalifah, ya kembali kepada-Nya, kembali ke
Hadirat-Nya. Alam kedamaian puncak!!
Bila angan-angan dan keinginan
itu dituruti terus-menerus, maka ia semakin lengket pada Sang Sukma Jati. Sulit
untuk ditanggalkan, meskipun badan jasmani sudah mati, tapi ia tetap melekat
pada Sang Diri. Seperti halnya di Bumi, kalau ia sekarang menyesatkan, maka
setelah matipun menyesatkan. Bahkan menyebabkan Sang Sukma lebih tersesat lagi
(QS Al-Isra’ [17];72 “Barangsiapa yang
buta mata hatinya didunia ini, maka ia akan lebih buta lagi di hari nanti, bahkan
akan semakin jauh dari jalan yang benar.”)
Samadi, meditasi atau zikir
merupakan cara membersihkan diri dari tipuan angan-angan dan keinginan, dan
cara untuk menimbulkan “Amal Saleh”. Apa amal saleh?yaitu segenap perbuatan dan
tindakan yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya. Perbuatan
lebih terkait dengan aktivitas batin manusia, misalnya cinta, benci, ketulusan
dan lain-lain sedangkan tindakan terkait dengan amalan lahiriah manusia. Selama
samadi / meditasi angan-angan dan keinginan benar-benar dikubur,
dikosongkan!agar firman Tuhan yang tanpa suara dan kata itu yang terekam. Bersemilah
benih cinta dan kerinduan untuk berbuat kebajikan. Kemudian secara lahiriah
kebajikan itu dibuktikan dengan budi pekerti yang makruf. Budi Pekerti yang
jelas diakui kebaikannya oleh masyarakat luas.
Ketiga,
bila zikir yang
dilakukan telah sempurna benar-benar angan-angan, pikiran dan ilusi telah
lenyap maka batin sang pezikir selamat sentosa. Dia terbebas dari segala macam
gangguan batin. Kecemasan dan kekhawatiran telah lenyap, tak ada lagi tempat
bagi ketakutan. Di mana-mana sama saja, yang ada ketenangan dalam hidup.
Ditulis
ulang dari Buku “Mistik dan Makrifat
Sunan Kalijaga”, Achmad Chodjim;Meditasi dan Kontemplasi;172-178.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar