Cakra
diartikan seperti cakram / roda. Manggilingan berasal dari kata giling;bahasa
jawa (berputar/menggerus). Cakra manggilingan gambaran dari cakram/roda yang
berputar. Dalam khazanah cerita pewayangan Cakra Manggilingan atau cakra yang
berputar dikenal sebagai senjata andalan Sri Kresna yang disebut Kalacakra. Esensi
dari cakra manggilingan ini adalah waktu. Ya waktu lah yang membuat semuanya
terjadi. Perubahan-perubahan yang terjadi sudah menjadi kodrat manusia ketika
tercipta melalui dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun.
Kejadian-kejadian yang akan dialami semuanya hanya tinggal menunggu waktunya
terjadi. Konsepsi waktu sangatlah penting, bahkan kehidupan manusia di dunia
pun dibatasi oleh waktu. Ketika masanya tiba, maka kita pun akan melepaskan
raga / badan wadag ini. Yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah dan yang
berasal dari Causa Prima akan kembali kepadaNya. Innalillahi wa innailayhi roji’un. Bahkan tentang waktu sendiri pun
diabadikan dalam Al-Qur’an1 :
Wal-‘asr(i) [1] Innal-insana
lafi khusr(in) [2] illal-lazina amanu [3] wa ‘ amilus-salihati wa tawasau
bil-haqq(i), wa tawasau bis-sabr(i)
[1]
Demi Masa ; [2] Sungguh manusia dalam kerugian ; [3] kecuali orang yang beriman
dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling
menasihati untuk kesabaran.
Setiap
proses perjalanan hidup manusia akan selalu terikat dengan waktu. Hidup itu
seperti roda yang berputar, demikian yang sering kita dengar dari para orang
tua kita dahulu. Kenyataan dan faktanya memang demikian, salah satu contoh
sebutlah seorang Da’i yang cukup terkenal di negeri ini. Begitu beliau muncul
sebagai da’i, dalam waktu yang tidak lama beliau pun terkenal seantero
Indonesia. penyampaian beliau yang sangat enak didengar dan menyejukkan hati
para pendengar, tak urung menjadikan beliau memiliki banyak penggemar dari
semua lapisan umur dan lapisan masyarakat. Tidak hanya dalam hal berdakwah,
beliau pun mendapatkan keberlimpahan dari sisi bisnis beliau. Namun semuanya
pun dalam waktu singkat runtuh ketika beliau mengambil keputusan yang tidak
populer di masyarakat. Tidak hanya bisnis yang semakin menurun namun cacian,
hinaan dan makian pun dituai akibat keputusan yang diambil. Namun sekarang,
seiring dengan berjalannya waktu, sang Da’i pun muncul kembali dan tetap
menjadi sosok yang dirindukan umat untuk nasehat-nasehat yang diberikan.
Sekelumit kisah diatas hanyalah contoh sebagai penggambaran tentang kehidupan
manusia. Ada saatnya berada di atas, ada saatnya berada di bawah. Ada saatnya
kita mendapatkan pujian, ada saatnya pula kita mendapatkan hujatan dan makian.
Hal tersebut menunjukkan dalam perjalanan waktu, manusia selalu hidup dan
berkembang sesuai dengan irama yang dimiliki masing-masing. Proses perjalanan
hidup tersebut, dalam pandangan hidup orang Jawa disanepakan dalam istilah Cakra Manggilingan. Filosofi atau keyakinan
berputarnya roda kehidupan baik mikro maupun makro disebut dengan Cakra
Manggilingan.
Kesadaran
manusia Jawa akan pentingnya konsepsi waktu, diwujudkan salah satunya melalui
penanggalan Jawa / Sistem Kalender Jawa. Jika kalender masehi hanya terdiri
dari hari (senin, selasa, rabu, dst), bulan dan tahun. Berbeda halnya dengan
penanggalan Jawa, penanggalan jawa memuat atau menampung dari beberapa sumber
penanggalan yang sudah ada yaitu budaya Islam, Budaya Hindu-Budha dan sedikit dari budaya barat. Dengan adanya
serapan dari berbagai budaya tersebut, maka kita mengenal sistem kalender yang
bertingkat dan sangat lengkap. Kalender Jawa terdiri dari hari yaitu sapta wara / 7 hari: Minggu (Radite), Senin (Soma), Selasa (Hanggara),
Rabu (Budha), Kamis (Respati), Jum’at (Sukra) dan Sabtu (Tumpak)
dan Panca wara / 5 hari dikenal
dengan pasaran : Legi, Pahing, Pon, Wage,
Kliwon. Pertemuan antara siklus harian 7 hari dan 5 hari dikenal dengan
istilah Pakuwon / Wuku. Satu wuku
mempunyai usia 7 hari. Jadi dalam siklus 1 bulan terdapat 4 wuku, sedangkan wuku sendiri ada 30 nama.
Dalam
siklus bulanan/sasi, Sistem Kalender
Jawa memiliki 12 bulan yaitu Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil
Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela, Besar. Penanggalan
Jawa sebelumnya menggunakan Tahun Saka karena pengaruh Hindu-Budha saat itu,
kemudian ketika di mulainya peradaban Islam di tanah Jawa tepatnya di Jaman
Sultan Agung (1625 M), beliau merubah penanggalan Jawa lebih bernuansa Islami.
perubahan tersebut dapat dilihat pada istilah penyebutan bulan/sasi ; bhs jawa. Sedangkan untuk angka tahun melanjutkan tahun Saka, bukan tahun Hijriyah hanya
istilahnya di ganti dengan tahun Jawa. Saat itu penetapan Sistem Kalender Jawa
pada tahun 1547 Saka, dilanjutkan menjadi 1547 Jawa. Berbeda halnya dengan tahun masehi, yang
hanya berhenti pada angka tahun. Sistem kalender jawa masih memiliki siklus
diatas tahun yaitu Windu. Windu
merupakan siklus 8 tahunan bagi
masyarakat jawa, terdiri dari Alip, Ehe,
Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir, sedangkan siklus windu sendiri
mempunyai 4 putaran (32 tahun jawa) yaitu Adi,
Kuntara, Sangara dan Sancaya. Berkaitan dengan hal tersebut sangat jelas,
jika masyarakat Jawa mempunyai kesadaran akan pentingnya Waktu, sehingga
masyarakat Jawa dituntut untuk selalu siap dengan keadaan yang akan dihadapi,
pada suatu saat kita mempunyai kebahagiaan, namun suatu saat pula kita akan
menghadapi kesusahan. Ada kalanya kita dipuja-puja orang dan ada kalanya kita
akan dicaci maki, dihujat oleh orang. Dengan memahami esensi Cakra Manggilingan
yang tidak lain adalah waktu kehidupan yang terus berputar, maka kita bisa
mempersiapkan diri kita untuk tidak larut dalam kebahagiaan atau kesedihan yang
sedang dihadapi. Berlebihan dalam menikmati kebahagiaan bisa melupakan dan
menyesatkan kita, bgitu juga sebaliknya jika terus larut dalam kesedihan maka
kita hanya jalan ditempat dan tidak akan ada perubahan yang terjadi.
nggelemi kahanan (mau menerima
kenyataan) itulah kunci untuk
mempersiapkan diri kita agar siap menghadapi kenyataan yang ada. Teori
sederhana manusia jawa dalam meraih kebahagiaan hidup adalah saiki, neng kene, ngene, Aku Gelem!!(saat
ini, disini, ditempat ini, saya bersedia).2 Apapun yang menjadi lelakon kita saat ini harus diterima dan
dihadapi itulah kenyataan hidup di dunia, jadi konsep “menikmati” itu bukan
hanya ketika kita sedang mendapatkan kebahagiaan/menerima rejeki yang melimpah
saja. Ketika kita sedang menerima masalah pun harus diterima bukannya malah
lari dari masalah atau sibuk menyalahkan orang lain. Itulah realita yang ada,
manusia sibuk meghabiskan energi untuk mencari-cari kesalahan orang lain atau
mengkambinghitamkan orang lain agar terhindar dari masalah. Padahal energi yang
ada sebetulnya bisa disalurkan untuk kegiatan lain yang lebih bermanfaat.
Kira-kira begitulah yang ingin disampaikan Ki Ageng Suryomentaram dengan
teorinya, apa yang kita alami saat ini adalah buah dari apa yang kita lakukan
di masa lalu. Jadi tidak perlu buang-buang energi karena masa lalu adalah masa
usang yang tidak mungkin bisa diulang jadi apapun yang terjadi saat ini harus
dihadapi dan diterima (ngundhuh wohing
pakarti). Begitu juga dengan masa depan, adalah masa yang tidak menentu,
masa yang masih belum jelas dan penuh dengan ketidakpastian. Sehingga tidak
perlu membuang-buang energi bahkan cenderung mengumbar nafsu / keinginan yang
pada akhirnya membuahkan sikap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
keinginan. Lantas apa yang dilakukan agar masa depan bisa lebih baik dari
sekarang? Jawabannya adalah Aku Gelem!!
(saya bersedia), bersedia tentang apa?bersedia dengan apa yang dihadapi saat
ini (nggelemi kahanan) atau dengan
bahasa yang lain dikenal dengan sikap qanaa’ah3. Dengan memelihara pikiran
yang positif yaitu menerima kenyataan dan melakukan yang terbaik untuk saat
ini, tentu akan membuahkan hasil di masa depan insyaallah... Dengan kata lain masa depan ditentukan dari sikap dan
pilihan kita saat ini,4 yang tentunya mempertimbangkan pengalaman di
masa lalu. Manusia jawa dituntut untuk dapat melakukan “TRIWIKRAMA” dalam
artian mampu mempertemukan tiga kekuatan yang ada dalam tubuh kita yaitu masa
lalu, masa kini dan masa yang akan datang.5 dengan demikian orang
yang dapat mengambil pelajaran pada setiap masa yang telah dilalui dan saat ini
dapat menjadikan manusia yang memiliki
pola pikir visioner sehingga mampu menyongsong masa depan yang lebih baik.
Dengan
memahami esensi cakra manggilingan adalah waktu, maka manusia jawa diharapkan
tidak akan terjerumus ketika mendapatkan bahagia maupun terpuruk ketika sedang
mendapatkan musibah. Semua itu sudah menjadi ketentuan dan dinamika kehidupan
bagi setiap manusia. Langgeng tan ana
bungah tan ana susah5..demikian yang disampaikan leluhur kita,
bahagia dan susah adalah dua hal yang harus dihadapi dan dijalani dengan suka
cita. Bahagia dan susah semuanya merupakan manifestasi dari apa yang telah kita
lakukan di masa lalu dan apa yang akan kita lakukan disaat ini.
Rahayu Sagung Dumadi....
1. Q.S Al-‘Ashr [103;1-3]
2.
Ngelmu Bahagia Kia Ageng Surya Mentaram..”Saiki, Ing Kene, Ngene, Aku
Gelem”
3. “Beruntunglah orang yang
memasrahkan diri, dilimpahi rizki yang sekedar mencukupi & diberi kepuasan
oleh Allah terhadap apa yang diberikan kepadanya.” (Diriwayatkan Muslim,
At-Tirmidzi, Ahmad & Al-Baghawy)
4. QS. Ar-Ra’d ; 11 : “Sesungguhnya Allah tidak
akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum
itu sendiri merubah apa-apa yang ada pada mereka”
5.
Dedhy Wilwaktika “Takdir Kehidupan
tentunya tidak dapat dihindari, tidak pula bisa diulang kebelakang ataupun
dipercepat menuju masa depan. Karenanya dalam kebudayaan Jawa, kita sebagai
makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna harus mempunyai kemampuan TRIWIKRAMA.
Artinya kita harus mampu mempertemukan tiga kekuatan tesebut adalah Masa Lalu,
Masa Kini dan Masa yang akan datang. Mereka yang mampu melakukan pembacaan
pertanda alam yang diberikan Tuhan di tiga waktu itu yang akan mampu menjadi
pemimpin utama. Kemampan pribadinya berubah berlipat kali, dipewayangan
digambakan berubah menjadi MAHARAKSASA.