Jika kita berbicara mengenai
budaya Jawa, tentu hal ini tidak akan
lepas dengan keberadaan Surakarta dan Yogyakarta sebagai pusat Budaya Jawa. Keduanya
merupakan penerus Dinasti Mataram Islam selaku penguasa Tanah Jawa setelah
berakhirnya Kerajaan Demak dan Keraton Pajang ,dua kerajaan yang juga menganut
Islam sebagai ideologi kerajaan. Berawal
dari kenyataan itu, maka tidak heran jika ditengah-tengah masyarakat Surakarta
dan Yogyakarta serta daerah disekitarnya masih sangat kental dengan kegiatan
budaya, baik itu dalam bentuk perilaku maupun dalam bentuk lain seperti
kesenian (seni tari, wayang, tembang dsb).
Sebutan sebagai masyarakat Jawa pun akhirnya lebih identik pada dua daerah
tersebut, meskipun hal ini kurang tepat jika ditinjau dari sudut pandang
antropologi budaya. Dalam antropologi budaya, Masyarakat Jawa adalah
orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan ragam
dialeknya secara turun temurun. Suku bangsa Jawa adalah mereka yang
bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang
berasal dari kedua daerah tersebut. Secara geografis suku bangsa Jawa
mendiami tanah Jawa yang meliputi Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta,
Madiun, Malang dan Kediri, sedangkan diluar itu dinamakan pesisir dan
Ujung Timur.
Hinduisme dan Budhisme dalam Budaya Jawa
Masyarakat Jawa dikenal sebagai
masyarakat yang ramah, tidak hanya dalam bentuk perilaku / tindak-tanduk tetapi juga terhadap pengaruh luar yang masuk.
Sebelum datangnya masa agama Hindu dan agama Budha oleh para pedagang dari
India dan Cina, masyarakat Jawa sudah dikenal memiliki kepercayaan terhadap
adanya suatu kekuatan magis dan pemujaan terhadap ruh-ruh leluhur dalam
kehidupan mereka yaitu animisme dan dinamisme. Pada prinsipnya semua agama
mempunyai sisi mistis / ghaib, yaitu
tentang adanya Sang Pencipta dan kehidupan setelah meninggal. Prinsip tersebut merupakan
entry point antara budaya Jawa
dengan semua agama yang masuk ke Tanah Jawa
bertemu. Baik itu agama Hindu, Budha,Islam dan Kristen. Terlebih agama Hindu
dan Budha, ketika kedua agama tersebut berkembang dengan pesat di Jawa, justru
budaya Jawa ini mampu menyerap unsur-unsur Hinduisme dan Budhisme yang ada dan
melahirkan budaya Jawa yang bernafaskan Hindu-Budha. Dijelaskan menurut Simuh, (1996:115),
Proses yang terjadi bukan sekedar akulturasi saja, tetapi yang terjadi justru
kebangkitan budaya Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama India tersebut. Bangkitnya
budaya Jawa seperti yang dijelaskan oleh Simuh, tidak lepas dengan salah satu
kelebihan masyarakat Indonesia yang memiliki kecakapan istimewa yang disebut local genius. Menurut Hasyim,M
dijelaskan dalam blognya, Bangsa Indonesia memiliki apa yang disebut dengan
istilah local genius, yaitu kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur
kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian
bangsa Indonesia. Dalam perjalanannya, akulturasi dari budaya Jawa dengan
pengaruh Hindu-Budha memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan
orang Jawa. Selain memperhalus dan memberikan identitas baru dalam tradisi Jawa,
pengaruh yang muncul pun sangat mengakar kuat dalam setiap kehidupan masyarakat
Jawa. Contohnya dalam bidang sastra, cerita Mahabarata yang sebetulnya
merupakan cerita asli orang India, digubah oleh Mpu Wyasa seolah-olah tokoh dan
peristiwa benar-benar terjadi di Jawa dan menjadi cerita legenda tanah Jawa.
Ditambah dengan kehadiran beberapa tokoh-tokoh baru yang sebetulnya tidak
pernah ada di cerita aslinya seperti Punakawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong), Wisanggeni, Antareja, Antasena
dan lain-lain. Bahkan lebih dari sebuah seni tradisi, karena sangat mengakar
kuat tercatat ketika Zaman Kerajaan Majapahit tepatnya pada masa pemerintahan
Raja Hayam Wuruk muncul suatu agama baru yang disebut Hindu-Budha. Suatu agama
yang terbentuk karena proses akulturasi Jawa dengan agama Hindu dan Budha maka
dari itu dikenal dengan istilah agama budaya.
Islamisasi Budaya Jawa
Menjelang berakhirnya masa
Kerajaan Majapahit sebagai simbol kebesaran agama Hindu-Budha di tanah Jawa,
tercatat di pesisir tanah Jawa telah ada komunitas muslim yang hidup menetap
bahkan beraktifitas sebagai pedagang. Bahkan permaisuri dari Prabu Brawijaya V
yang bernama Ratu Andarawati pun telah memeluk Islam. Begitu juga dengan putera
Prabu Brawijaya V dengan salah satu selirnya yaitu Raden Fatah (dikenal dengan
Raden Patah), pun telah memeluk Islam. Runtuhnya Kerajaan Majapahit di tangan
Prabu Girindrawardhana dari Kerajaan Kadiri, membuka era baru bagi perkembangan
budaya Jawa. Hal ini tidak lepas karena berdirinya Kerajaan Islam pertama di
tanah Jawa yaitu Kerajaan Demak Bintoro. Islam yang semula hanya berada di
wilayah pesisir, akhirnya pun segera berkembang pesat di seluruh pelosok tanah Jawa.
Perkembangan Islam di tanah Jawa tidak bisa dilepaskan dari jasa-jasa Dewan
Wali yaitu suatu kumpulan mubaligh/ulama pada masa itu, yang dikenal dengan
Walisanga.
Metode yang dilakukan oleh
beberapa anggota Walisanga cukup moderat dan beragam. Ada yang mengambil jalur
pendidikan seperti yang dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel dan
Sunan Muria adapula yang mengambil jalur seni dan budaya seperti yang dilakukan
oleh Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus dan Sunan Giri. Budaya Jawa yang
bernafaskan Hindu-Budha pada masa awal penyebaran Islam, dapat berjalan
beriiringan. Lambat namun pasti, Islam mulai masuk ke kebiasaan orang Jawa saat
itu. Acara selametan yang identik dengan puji-pujian/kidung diubah dengan do’a-do’a
yang lebih islami. Sesaji/sajen yang biasa dilakukan terhadap pemujaan dewa
digantikan ke kegiatan yang lebih bermanfaat yaitu sedekah. Sedekah dilakukan
oleh kerajaan/Kraton untuk menyantuni rakyatnya yang berupa pemberian hasil
bumi. Di daerah Kudus sampai saat ini sebagian masyarakatnya masih tidak
meyembelih sapi, hal ini merupakan seruan dari Sunan Kudus saat itu untuk
menghormati kepercayaan Umat Hindu. Dalam seni dan sastra, nuansa Islampun juga
terasa. Salah satu contoh yang kita kenal sampai dengan saat ini yaitu tembang
macapat. Selain itu tembang-tembang dolanan seperti lir-ilir, jamuran dan
cublak-cublak suweng pun merupakan peninggalan para penyebar Islam saat itu. Sunan
Kalijaga dikenal sebagai sosok yang paling berpengaruh terhadap penyebaran Islam
melalui pendekatan budaya. Pengetahuannya yang sangat luas mengenai budaya Jawa
dan kecerdasannya berhasil menggabungkan unsur-unsur islam kedalam budaya Jawa
masyarakat saat itu, bahkan tetap terjaga sampai saat ini. Metode oleh para
wali ini dikenal dengan sinkreteisme.
Dalam pandangan Zamakhsyari
Dhofier, ada dua tahap penyebaran Islam di Pulau Jawa, yaitu tahap pertama
dimana orang menjadi Islam sekedarnya, yang selesai pada abad ke 16, dan tahap
kedua adalah tahap pemantapan untuk betul-betul menjadi orang Islam yang taat
yang secara pelan-pelan menggantikan kehidupan keagamaan yang lama. Dari pandangan
tersebut, dapat dipahami jika Islam pada zaman walisanga merupakan tahap
penyebaran pertama di Indonesia. Menurut Arif Setyawan, dijelaskan Sultan Agung
Hanyokrokusumo yang mengawali tahap pemantapan melalui pendidikan Islam secara
massal kepada masyarakat Jawa. Di setiap kampung diadakan tempat untuk belajar
membaca Al Qur’an, tatacara beribadah dan tentang ajaran dasar Islam seperti
rukun iman dan rukun Islam.Saat itu, apabila ada anak berusia 7 tahun belum
bisa membaca al Qur’an, ia akan malu bergaul dengan teman-temannya. Para guru
agama ini diberi gelar Kyahi Anom oleh pihak kraton. Di tingkat
kadipaten didirikan pesantren yang dipimpin oleh Kyahi Sepuh. Pola penyebaran Islam
seperti yang dilakukan oleh Sultan Agung inilah yang semakin memantabkan Islam
dalam kehidupan masyarakat Jawa. Sultan Agung pun mensinkronkan antara
penanggalan Jawa dengan penanggalan Islam (Hijriyah). 1 Sura disesuaikan dengan
1 Muharam, sehingga sampai dengan saat ini kita masih dapat melihat untuk makna
Hijriahnya diperingati di masjid-masjid dalam pengajian, sedangkan makna Suran
masih dijalankan oleh masyarakat Jawa untuk berintrospeksi diri, merenung
menjauhkan diri dari aktifitas kehidupan.
Dengan demikian sebetulnya budaya Jawa tidak
pernah terpinggirkan dan tidak pernah punah. Budaya asing yang masuk melalui
agama Hindu dan Budha, justru memberi warna baru bagi budaya Jawa zaman purba. Begitu
juga dengan pengaruh Islam di Jawa, pengaruhnya
justru semakin menambah warna budaya Jawa. Menurut hemat saya, budaya akan
selalu berkembang dan berjalan dengan dinamis, begitu juga dengan Budaya Jawa
akan selalu berkembang dan memproses dirinya mengikuti perkembangan jaman.
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Rangga
Warsita, (Jakarta:UI-Press, 1998), Hlm. 278.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1982) hal. 12
//hasheem.wordpress.com/bahan-ajar
//www.alumnipii.org/2012/08/17/islamisasi_dan_kristenisasi_kebudayaan_studi_kasus_budaya_Jawa_tulisan_kedua