Selasa, 23 Juli 2013

KEARIFAN LOKAL WONG JAWA YANG SERINGKALI DISALAH ARTIKAN



M
asyarakat Jawa sudah dikenal memiliki kepercayaan terhadap adanya suatu kekuatan magis dan pemujaan terhadap ruh-ruh leluhur dalam kehidupan mereka yaitu animisme dan dinamisme. Hal ini telah berlangsung lama, semenjak sebelum datangnya beberapa agama di Indonesia bahkan sampai dengan saat ini ketika banyak masyarakat jawa yang sudah memeluk agama tertentu. Pemahaman akan adanya energi/kekuatan magis (ghaib) dan adanya kehidupan setelah kematian menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat jawa mempunyai dasar-dasar nilai spiritualitas dalam kehidupannya. Disamping itu, masyarakat jawa juga dikenal suka menggambarkan sesuatu dengan simbol-simbol atau pralambang. Seperti yang disampaikan oleh salah satu budayawan Surakarta KGPH Dipokusumo pada perjumpaan beberapa tahun silam, beliau menjelaskan jika wong jawa/masyarakat jawa pada dasarnya merupakan Homo Simbolis jadi suka menjelaskan sesuatu melalui penggambaran dalam bentuk simbol  ataupun pralambang. Pertemuan antara nilai-nilai spiritualitas dan simbol/pralambang inilah yang membentuk budaya jawa menjadi budaya yang sangat luhur dan mempunyai makna filosofi yang tinggi. Hal inilah yang dimaksud dengan wohing budi lan daya, jadi untuk memahaminya pun perlu menggunakan rasa (rah sa) dan budi agar kita bisa menggali makna-maknanya. Tentu ini tidak mudah, diperlukan latihan olah rasa dan kedewasaan spiritual,sehingga mampu mengungkap tabir yang ada. Namun hal ini akan dimaknai berbeda, ketika hasil budaya tersebut dipahami seperti apa yang dilihat tanpa dikaji dan digali maknanya. Maka tidak heran jika sebagian orang menilai jika budaya jawa itu lekat dengan hal-hal yang berbau mistis, irrasional dan klenik.
Pada kesempatan  ini, kita akan mencoba mengangkat beberapa contoh kearifan lokal yang ada, yang sering disalahartikan sebagai hal yang sifatnya mistis / klenik oleh beberapa orang yang antipati terhadap budaya maupun bagi orang-orang Jawa itu sendiri. Seperti yang diungkapkan diatas, banyak hal yang bersifat pralambang/simbol. Diantaranya sebagai berikut :
1.       Bancakan /slametan
Bancakan atau dikenal dengan slametan biasanya diwujudkan dalam bentuk  nasi tumpeng yang berbentuk kerucut,biasanya nasi gurih (nasi uduk) dengan aneka lauk, atau dikenal juga dengan istilah kembul bujana. Bancakan/slametan biasanya dilakukan setelah terwujudnya suatu keinginan yang diinginkan, yang bermaksud untuk mensyukuri atas karunia yang telah diterima. Bancakan / slametan dipandang sebagai suatu hal yang klenik, dikarenakan dianggap sebagai sajen/sesaji kepada danyang atau terhadap suatu kekuatan lainnya selain Allah. Padahal dalam bancakan sendiri sebetulnya terdapat beberapa makna sebagai berikut:
a.       Mensyukuri atas nikmat/karunia dari Allah, atas terwujudnya suatu hajat/keinginan sehingga diwujudkan dalam bentuk shodaqoh (sedekah), dengan mengeluarkan sebagian rejekinya untuk berbagi terhadap sesama.
b.      Nasi uduk, berasal dari kata wudhu yang berarti suci/bersih. Dikarenakan berasal dari nasi gurih, dilambangkan sebagai makanan yang harum. Diharapkan orang yang selalu makan makanan yang harum dan bersih, darah dagingnya akan memancarkan bau harum dengan sendirinya.

c.       Tumpeng buceng, bentuk kerucut,  tumpeng dalam istilah Jawa dikenal dengan buceng. Mbujung =  buceng = mengejar untuk mencapai tingkatan yang paling tinggi di dalam hidup yaitu tingkat kehidupan keIllahian, dengan berbekal segala potensi hidup (potensi alami) yang dilambangkan dengan uborampe makan yang berupa tumbuh-tumbuhan dikenal dengan gudangan.

Bancakan : Nasi Tumpeng disertai Gudangan lengkap

2.       Suran / Suro
Bulan suro dikenal sebagai bulan yang sakral oleh sebagian besar orang Jawa. Beberapa orang masih memiliki kepercayaan jika pada bulan ini tidak boleh mengadakan acara/hajatan. Jika melanggar konon akan mengalami gangguan/hal-hal yang tidak diinginkan dalam acara yang digelar. Ditambah lagi dengan adanya beberapa kegiatan budaya dari keraton-keraton yang masih eksis semisal Kirab Pusaka yang diadakan oleh Kadipaten Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan Surakarta. Khusus untuk kegiatan dari Keraton Kasunanan yang paling familiar adalah adanya prosesi kirab pusaka yang diawali dengan adanya rombongan kebo bule keturunan “Kyai Slamet” sebagai pembuka jalan. *Dan biasanya justru rombongan kebo bule ini yang menjadi pusat perhatian karena sebagian masyarakat akan memperebutkan kotoran kerbau/kebo (telethong : bahasa jawa) yang diyakini akan membawa berkah*. (*tepuk jidat..geleng-geleng..ngelus dada..hehehe). Hal inilah yang dianggap oleh beberapa orang, kegiatan suran penuh dengan klenik dan bertentangan dengan paham keyakinan/agama yang ada saat ini. Sangat disayangkan jika kegiatan budaya yang ditinggalkan oleh pepundhen yang sebetulnya mempunyai makna yang dalam dan adiluhung serta perlu dilestarikan  tercoreng oleh hal-hal yang bersifat irasional.
Penanggalan Jawa /tahun jawa pada awalnya diciptakan oleh Sultan Agung. Bulan Suro berasal dari kata Asyura (bahasa arab). Penanggalan jawa disinkronkan sesuai dengan penaggalan Islam (hijiryah) oleh Sultan Agung, 1 Suro = 1 Muharram. Pada masa ini menurut Zamakhsyari Dhofier, dikenal sebagai masa pemantaban Islam di Indonesia. Dari latar belakang tersebut, menurut saya, bulan sura identik dengan bulan penuh perenungan /introspeksi diri/muhasabbah. Sehingga orang-orang jaman dulu sering mengingatkan di bulan suro dilarang memiliki hajat / kegiatan yang sifatnya seperti pesta, bukan karena bulan yang sakral melainkan bulan suro sebaiknya diisi kegiatan yang sifatnya untuk merenung, berkaitan adanya pergantian tahun. Diharapkan pada tahun berikutnya pencapaian kita dalam kehidupan yang dijalani bisa lebih baik lagi. Hal inilah yang membedakan pergantian tahun Masehi dengan pergantian tahun Hijriyah. Ketika pergantian tahun Masehi dihiasi dengan pesta yang meriah dan terkesan menghambur-hamburkan uang, berbeda dengan pemahaman wong jawa jika pergantian tahun digunakan untuk merenung tentang kehidupan senantiasa mengingat Sang Khalik, karena suatu saat tanpa kita duga, Sang Khalik akan memanggil kita sewaktu-waktu untuk berpulang padaNya. Dalam istilah jawa dikenal  tansah eling marang sangkan paraning dumadi.
 Sedangkan untuk kegiatan-kegiatan yang menyambut bulan suro seperti kirab pusaka yang dilakukan kraton pun mempunyai makna yang sangat dalam, jika dipahami dengan benar. Mengingat semua kegiatan yang ada berwujud pralambang/simbol, sehingga perlu diketahui makna dari kegiatan tersebut bukan karena ikut-ikutan (gugon tuhon)  Berikut kegiatan-kegiatan yang identik pada malam 1 suro :

a.       Kirab Pusaka
Kirab pusaka biasanya dilakukan pada malam 1 suro, setelah pusaka dijamasi (dicuci/dibersihkan). Biasanya kirab pusaka akan dikirab mengelilingi tembok kraton oleh para abdi dalem Keraton. Prosesi ini pun terkesan sangat sunyi dikarenakan memang para pengiring melakukan tapa mbisu (diam tidak berbicara). Selama prosesi berlangsung, para abdi dalem disuruh untuk merenungkan perjalanan kehidupan selama setahun yang sudah dijalani, disertai dengan melantunkan puji-puji syukur atas nikmat yang diperoleh pada Sang Pemberi Nikmat, dan tidak lupa mengucapkan istighfar atas kesalahan-kesalahan dan kekhilafan yang sudah dilakukan agar tidak terulang di tahun-tahun mendatang. Hal inilah yang dimaksudkan sebagai makna positif dari prosesi kirab pusaka, substansi dari kegiatan ini adalah bermuhasabbah/merenung/instrospeksi diri.

Prosesi Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Kadipaten Mangkunegaran
Lalu kenapa harus mengelilingi tembok kraton?? Keraton dalam masa Islam di tanah jawa bertindak sebagai pusat pemerintahan, pusat kebudayaan,pusat pendidikan dan pusat agama. Sehingga semuanya bermula dari Keraton. Aturan yang menyangkut ketatanegaraan hingga aturan kehidupan bermasyarakat bermula dari Keraton. Keraton disini hanyalah sebagai penggambaran dari suatu tempat (ibarat seperti magnet) yang menjadi pusat dari kehidupan wong jawa saat itu.Maknanya dari kegiatan diatas,  dalam diri manusia, yang menjadi pusat (pancer : bahasa jawa) adalah hati sanubari/hati nurani. Di dalam hati nurani tersebut terdapat satu tempat yang sangat suci dimana semuanya kelihatan dengan jelas dan tidak bisa dikontaminasi oleh apapun. Yang benar akan dikatakan benar dan yang salah akan dikatakan salah, itulah yang disebut dengan mata hati (telenging roso : bahasa jawa / fu’ad :bahasa arab). Sebagai contoh ketika kita melakukan suatu tindakan yang salah pernahkah anda merasa ada yang memberontak dalam diri anda?ada perasaan bersalah?jantung anda seolah-olah berdegup kencang?itulah hati nurani yang sedang “berkomunikasi” dengan kita. Mungkin kita bisa membohongi pikiran kita, tetapi kita tidak akan bisa membohongi hati nurani kita. Itulah makna dari topo mbisu yang kami sampaikan diatas, kegiatan tersebut mengingatkan kita agar selalu ingat kepada hati nurani/hati sanubari kita masing-masing. Suatu tempat yang senantiasa bersih dan selalu terisi oleh nur Illahiah. Dalam kehidupan manusia akan selalu ditarik oleh berbagai keinginan/hawa nafsu (muthmainah, lauwamah, amarah dan sufiyah) kalau keempatnya tidak bisa kita kendalikan atau dengan kata lain hanya mengikuti hawa nafsu tersebut, kita akan selalu terombang-ambing dan tidak punya arah tujuan. Sebagai pengikat agar kita tidak terombang-ambing oleh hawa nafsu berada di hati nurani/hati sanubari. Oleh orang jawa dikenal dengan istilah Kiblat Papat Kalima Pancer. Pancer/pusat disini adalah hati nurani/hati sanubari, sedangkan yang dimaksud dengan kiblat papat adalah hawa nafsu yang terdiri dari muthmainah, lauwamah, amarah dan sufiyah.  lantas bagaimanakah caranya agar kita bisa mendengarkan hati nurani/hati sanubari?itulah hakekat kita melaksanakan sholat/sembahyang/kebaktian.

b.      Jamasan Pusaka
Jamasan Pusaka
Jamasan pusaka merupakan suatu kegiatan yang pada intinya adalah membersihkan / mencuci benda-benda berharga yang dimiliki keraton agar bersih. Bersih dari debu, maupun karat/kerak yang menempel pada benda-benda tersebut. Yang dimaksud benda-benda pusaka tidak hanya berupa senjata seperti keris atau tombak bisa juga benda-benda lain yang dianggap mempunyai nilai tinggi(non-materi)/bersejarah oleh pihak keraton. Tetapi pada umumnya  prosesi jamasan didominasi berupa tombak dan keris.  Kenapa dibersihkan???karena sebetulnya didalam keris terdapat nilai seni yang sangat indah, yaitu pamor. Atau secara awam dapat dikatakan ukiran-ukiran yang terbentuk di batang besi keris. Pamor keris ini biasanya akan terlihat lebih mengesankan jika setelah dibersihkan.(pengalaman pribadi dari koleksi keris yang dimiliki ayahanda, akan terlihat nilai seni dari pamor setelah dijamasi). Selain itu, kenapa dibersihkan?karena benda-benda tersebut merupakan peninggalan leluhur yang senantiasa akan selalu dikenang untuk generasi berikutnya sehingga perlu dirawat dan perawatannya pun perlu dengan metode khusus atau tidak setiap saat, dikarenakan benda-benda tersebut sudah berusia puluhan tahun bahkan mungkin sudah ratusan tahun. Perlakuan dan perawatan secara khusus biasanya memang lazim untuk benda-benda yang masuk kategori kuno apapun itu bentuknya (fosil, karya-karya sastra, lukisan, kitab suci dll).
 Secara maknawi prosesi jamasan pusaka dalam hal ini keris, sebetulnya merupakan penggambaran pembersihan jiwa dari seorang manusia. Diibaratkan warangka keris (wadah) merupakan badan/wadag manusia sedangkan bilah keris merupakan jiwa. prosesi jamasan ini mengingatkan kita untuk senantiasa melakukan pembersihan ruhani dengan berbagai kegiatan keagamaan yang kita yakini masing-masing. Sehingga kegiatan ini mendorong kita untuk selalu dekat dengan Sang Khalik, dengan demikian semakin dekat kita kepada Sang Khalik akan memudahkan kita untuk mendengarkan hati nurani/hati sanubari kita. Hal inilah yang senantiasa membuat jiwa manusia diliputi nur illahiah sehingga menghasilkan budi luhur (akhlaqul karimah) dan ini akan tercermin dalam polah/tindak-tanduk/perilaku yang dihasilkan oleh tubuh/badan/wadag seorang manusia. Dalam istilah jawa dikenal dengan istilah Curiga Manjing Warangka  (jiwa yang berada didalam badan jasmani). Sehingga kegiatan jamasan pusaka ini diharapkan dapat memotivasi masyarakat, untuk melakukan “jamasan” bagi dirinya sendiri  dan inilah “berkah” yang diharapkan, bukan untuk datang dan memperebutkan air sisa jamasan pusaka dengan harapan akan menjadi berkah, apalagi jimat(istighfar...istighfar..eling-eling..sedaya daya lan kekiyatan punika namung Kagunganipun Gusti Allah..La Haula Wala Quwwata Illa Billah..).

3.       Gunungan
Prosesi gunungan biasanya ditemui pada acara Sekatenan yang  diselenggarakan oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta maupun Keraton Kasunanan Surakarta. Prosesi gunungan dikenal dengan acara Grebeg Maulud. Acara sekaten yang ada di Surakarta dan Yogyakarta merupakan peninggalan dari zaman Kerajaan Demak. Pada awalnya acara sekaten diselenggarakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, oleh Sunan Kalijaga kegiatan pesta rakyat tersebut disisipi dengan kegiatan syi’ar yaitu menarik rakyat Demak yang belum memeluk Islam untuk di ajak bergabung masuk Islam. Kegiatan tersebut dikenal dengan Syahadatain yang dilaksanakan saat Maulid Nabi Muhammad SAW. Seiring dengan berjalannya waktu acara Syahadatain ini dikenal dengan Sekaten seperti yang kita kenal saat ini.

Prosesi Grebeg Maulud
Puncak dari acara Sekaten saat ini adalah ditandai dengan Prosesi Grebeg Maulud. Yaitu dikeluarkannya dua gunungan (beragam sayur-mayur dan makanan yang disusun berbentuk kerucut seperti gunung). Gunungan tersebut terdiri dari 2 buah gunungan yaitu Gunungan Jaler (laki-laki) dan Gunungan Estri (perempuan). Gunungan-gunungan tersebut disiapkan oleh pihak Keraton, prosesi Gunungan biasanya ditandai dengan dikeluarkannya gunungan-gunungan tersebut dari dalam Keraton yang dikawal oleh sejumlah prajurit Keraton untuk dibawa ke Masjid Agung. Setelah gunungan –gunungan tersebut di do’akan oleh ulama-ulama Keraton, selanjutnya Gunungan Jaler akan dibawa ke alun-alun untuk diberikan kepada masyarakat sedangkan Gunungan Estri akan dibawa masuk ke dalam Keraton untuk dibagikan kepada abdi-abdi dalem Keraton. Ketika gunungan Jaler dibagikan kepada masyarakat, biasanya masyarakat akan saling berebut, saling berlomba, saling tarik menarik hanya untuk mendapatkan isi dari gunungan tersebut. Fenomena yang sama juga kita jumpai pada gunungan estri yang dibagikan pada abdi dalem Keraton. Para abdi dalem Keraton pun akan melakukan hal yang serupa yaitu memperebutkan isi dari gunungan karena diyakini akan membawa berkah bahkan tidak sedikit dijadikan jimat untuk keselamatan maupun kesuburan tanah/ladang.(hadew....seneng banget sih kalo rebutan nih sebagian masyarakat..hehehehehe)
Sangat disayangkan suatu kegiatan yang pada mulanya diciptakan untuk suatu tujuan yang mulia, namun saat ini hanya berupa kegiatan yang bersifat rutinitas, bahkan cenderung disalah artikan terutama pemahaman akan “berkah” yang diyakini sebagian masyarakat kita. Gunungan merupakan penggambaran ucapan syukur oleh pihak Keraton karena telah menyelenggarakan serangkaian acara pesta rakyat yang bertujuan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Gunungan yang berbentuk kerucut/mbujung seperti tumpeng yang mempunyai makna mengejar untuk mencapai tingkatan yang paling tinggi di dalam hidup yaitu tingkat kehidupan keIllahian, dengan berbekal segala potensi hidup (potensi alami) yang dilambangkan dengan uborampe makanan yang berupa sayur mayur sebagai isi/penyusun dari Gunungan tersebut. Gunungan-gunungan yang dibuat oleh pihak Keraton sebetulnya merupakan wujud shodaqoh (sedekah) yang diberikan kepada masyarakatnya dan para abdi dalem, dalam bentuk makanan atau sayur-mayur. Sehingga berkah yang didapatkan yaitu, jika makan-makanan tersebut dimakan atau sayur-mayur tersebut diolah dan menjadikan perut kenyang. Bukan untuk disimpan dijadikan jimat atau apapun lainnya yang sifatnya mengharap akan adanya kekuatan dari makan/makanan atau sayur yang didapat dari gunungan-gunungan tersebut.

4.       Peletakan Bunga Mawar/setaman di museum
Dibeberapa museum di Indonesia khusunya di Jawa kita sering melihat adanya peletakan bunga mawar/setaman pada beberapa koleksi museum. Sehingga hal ini sering dianggap bahwasanya bunga setaman yang diletakkan tersebut merupakan sajen/sesaji terhadap danyang atau lelembut atau makhluk ghaib yang mendiami pada koleksi-koleksi yang ada di museum. Tentu hal ini tidak benar, penanganan terhadap benda-benda yang mempunyai usia ratusan tahun dibutuhkan penanganan yang khusus. Selain penanganan yang hati-hati, tentu penggunaan bahan-bahan alami akan menjadi pilihan. Pemberian bunga setaman dimaksudkan sebagai pewangi alami yang didapat dari bunga-bunga segar. Sebagai contoh pada museum batik yang terdapat di Ndalem Wuryoningratan (Museum Batik Danar Hadi), menurut kurator museum penggunaan pewangi memang dipilih dari bunga setaman bukan dari pewangi sintetis atau yang beredar di pasaran. Hal ini dikarenakan, pewangi sintetis ditakutkan akan merusak dari serat kain batik yang telah berusia ratusan tahun yang menjadi koleksi mereka. 
5.       Sedekah
Sedekah diyakini berasal dari kata Shodaqoh. Ada yang mengatakan budaya sedekah ini mulai dibudayakan oleh Sunan Kalijaga. Sedekah mulai diperkenalkan ke masyarakat jawa saat itu, dikarenakan adanya kebiasaan masyarakat Jawa saat itu yang gemar memberikan sesaji / sajen. Maka dari itu, kebiasaan untuk mengeluarkan sebagian harta yang dimiliki dalam bentuk sajen diubah oleh Sunan Kalijaga dalam bentuk sedekah yang diperuntukkan untuk sesama agar lebih bermanfaat dan Islami. Sedekah bumi dan sedekah laut adalah 2 kegiatan budaya yang sering kita jumpai hingga saat ini. Sedekah bumi biasanya dilakukan di daerah yang memiliki pertanian yang subur, dikarenakan memang yang menjadi ubarampe sedekah terdiri dari hasil pertanian yang mereka peroleh. Sedekah bumi biasanya dilakukan setelah panen raya, kegiatan ini ditujukan untuk mensyukuri atas hasil yang diperoleh. Sedangkan sedekah laut biasanya dilakukan oleh masyarakat nelayan yang sumber mata pencaharian diperoleh dari laut. Oleh Sunan Kalijaga, 2 kegiatan tersebut dilakukan untuk merubah persepsi dan kebiasaan masyarakat saat itu, yaitu masyarakat di pedesaan sering memberikan sesaji guna memohon pada Dewi Sri (Dewi Kesuburan), agar melindungi sawah mereka terhindar dari gangguan danyang/ roh halus yang berniat mengganggu. Sedangkan di masyarakat nelayan sering memberikan sajen kepada Penguasa Laut agar tidak mendapatkan gangguan di laut selama berlayar dan mencari ikan. 
Namun fenomena yang ada saat ini, sedekah bumi dan sedekah laut justru kembali kepada pemahaman lama. Seringkali dalam kegiatan sedekah bumi ditambahi dengan sesaji/sesajen yang ditanam didalam sawah/ladang mereka. Begitu juga dengan sedekah laut, sering diiringi dengan pemberian sesaji/sajen yang dilarung ke laut. Hal inilah yang dianggap sebagian masyarakat sebagai klenik/mistis, suatu kegiatan budaya yang seharusnya mempunyai tujuan yang mulia yaitu mensyukuri hasil yang diperoleh kepada Sang Khalik dan berbagi bersama terhadap yang kurang mampu, namun saat ini cenderung menuju ke kegiatan yang bersifat irrasional dan menghambur-hamburkan hasil yang diperoleh dengan cara saling diperebutkan serta ditujukan kepada selain Dzat Tunggal. Seyogyanya sedekah harus dikembalikan kepada pemahaman semula yaitu kurang lebih seperti makna shodaqoh, prosesinya boleh sama karena semua itu merupakan kegiatan budaya yang perlu dilestarikan. Tetapi semua uborampe tidak ditujukan kepada hal-hal yang bersifat mistis/klenik dengan cara tidak ditanam atau dilarung, melainkan semua uborampe dinikmati bersama, atau dibagikan kepada yang kurang mampu.  Hal yang demikian tentu sejalan dengan konsep shodaqoh dan pasti lebih diterima oleh sebagian besar masyarakat, karena lebih rasional dan mempunyai manfaat.
Tentu masih banyak kearifan lokal Wong Jawa yang belum diungkap, contoh diatas hanyalah sebagian kecil dan masih banyak kearifan lokal Wong Jawa yang disalah artikan sehingga menimbulkan kesan klenik/mistis dan irrasional. Hal ini pula yang sekiranya menjadi kritikan bagi Keraton selaku pemangku adat saat ini, sosialisasi/penjelasan mengenai kegiatan kebudayaan yang penuh makna seperti beberapa hal diatas harus dilakukan. Tujuannya agar tidak terjadi pemahaman yang salah kaprah oleh masyarakat dalam memaknai kegiatan budaya. Selain itu, penjelasan yang rasional terhadap kegiatan budaya yang ada, dapat menepis anggapan jika kegiatan budaya yang dihasilkan /peninggalan Keraton merupakan hal-hal yang tidak bermakna dan cenderung menyimpang dari agama maupun logika manusia. Mungkin Keraton sudah bukan lagi sebagai pusat pemerintahan  dan pusat agama tetapi tugas dan fungsi Keraton sebagai pusat kebudayaan dan pusat pendidikan masih tetap ada, dan menjadi rujukan bagi kegiatan-kegiatan budaya yang dihasilkan oleh para leluhur. Kalau hal ini dibiarkan, semakin lama jarak antara kegiatan-kegiatan budaya dan agama akan semakin renggang dan cenderung terjadi sikap antipati satu dengan yang lainnya. Belum lagi dengan perkembangan generasi muda saat ini, dengan gencarnya budaya asing yang  masuk melalui berbagai media. Lambat laun kegiatan-kegiatan budaya ini akan hilang ditelan zaman. Menurut hemat saya prosesinya dari setiap kegiatan budaya tidak begitu masalah jika hilang, tetapi sangat disayangkan jika nilai-nilai yang dihasilkan yang penuh makna (intangible heritage) dari kegiatan-kegiatan tersebut hilang dan tidak terwariskan kepada generasi kita berikutnya. 
Salam Budaya

Inspirasi tulisan diperoleh dari :
Penjelasan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Dipokusumo, budayawan Kota Surakarta saat Proses Karantina Pemilihan Putra-Putri Solo.
Wejangan Kanjeng Pangeran Yogiswara Suryadiningrat (Drs.Moch.Ngemron,M.Psi.) budayawan dan Dosen Filsafat, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Belajar dari Istilah "Pencak Silat"




 Istilah silat tidak hanya dikenal di Indonesia, hampir semua kawasan di Asia Tenggara khususnya rumpun melayu (dalam arti luas) mengenal silat sebagai ilmu beladiri mereka (martial art). Secara khusus di Indonesia dikenal dengan sebutan Pencak Silat. Istilah ini digunakan sejak 1948, yang bertujuan untuk mempersatukan beragaam aliran seni beladiri yang ada dan berkembang di Indonesia saat itu. Istilah “Pencak” lebih dikenal di Pulau Jawa, sedangkan istilah Silat (silek) lebih dikenal di daerah Sumatera. Seiring dengan perjalanan waktu, istilah “pencak” lebih mengedepankan unsur seni dan penampilan keindahan gerakan. Seni dan keindahan gerakan pencak silat dapat dilihat ketika seorang pesilat memperagakan kembangan. Kembang (bunga : bahasa Indonesia ) yang bermakna indah. Kembangan merupakan gerakan tangan dan sikap tubuh yang dilakukan sambil memperhatikan, mewaspadai gerak-gerik musuh, sekaligus mengincar celah pertahanan musuh. Ketika kembangan dilakukan seorang pesilat terlihat seperti sedang menari / ngibing (bahasa sunda), biasanya kembangan dilakukan di awal laga /pertarungan yang digunakan untuk mengantisipasi serangan dan mengelabui lawan. Sedangkan silat adalah inti dari ajaran beladiri dalam sebuah pertarungan, yang terdiri dari berbagai teknik, mulai dari kuda-kuda sampai pukulan, tendangan, bantingan, krippen (kuncian),sapuan, guntingan dll.




 Dalam pencak silat terkandung 4 aspek utama, yaitu

Aspek Mental Spiritual
Pencak silat dapat berguna untuk membangun dan mengembangkan kepribadian dan karakter mulia seseorang. Sehingga disetiap aliran pencak silat di Indonesia, tidak hanya olah fisik/kanuragan yang diberikan. Melainkan terdapat juga pelatihan kebatinan, untuk menggapai tingkat tertinggi dalam keilmuannya.

Aspek Seni Budaya
Pencak Silat tidak hanya berisi olah kanuragan, namun juga terdapat “seni” yaitu permainan pencak silat yang pada umumnya seperti menggambarkan orang yang sedang menari namun menghasilkan serangan-serangan yang penuh energi dan mematikan, baik dengan tangan kosong maupun dengan permainan berbagai senjata.

Aspek Bela Diri
Istilah Silat, cenderung menekankan pada aspek kemampuan teknis. Sehingga dibutuhkan ketekunan diri dalam menguasai pencak silat, agar dapat digunakan baik itu untuk menghadapi musuh dalam suatu kompetisi maupun menghadapi ancaman yang membahayakan diri seorang pesilat.

Aspek Olahraga                                       
Aspek olahraga meliputi pertandingan dan demonstrasi bentuk-bentuk jurus baik untuk tunggal,ganda dan regu. Berkaitan dengan hal tersebut, Aspek fisik dalam pencak silat merupakan salah satu yang terpenting. Pada aspek ini pesilat mencoba menyesuaikan pikiran dengan olah tubuh.
4 aspek tersebut diatas perlu diketahui, guna pembentukan seorang pesilat/pendekar yang utuh.Untuk itulah para sesepuh mengkombinasikan “pencak silat” sebagai satu kesatuan bukan  terpisah yaitu ”pencak” atau “silat” saja. bukan sekedar seni budaya yang suatu saat akan hilang ditelan budaya asing, dan juga bukan hanya gerakan-gerakan beladiri saja. Melainkan perpaduan diantaranya yaitu keseimbangan antara olah raga dengan olah rasa. Meminjam istilah sesepuh (Mas Kresna Budaya), ada 3 hal yang harus bersinergi bagi seorang pesilat yaitu jurus, energi dan budi luhur. Pelatihan untuk jurus dan energi (fisik) diperoleh dari silat, sedangkan energi (non fisik / olah rasa) dan budi luhur didapat dari penggalian nilai-nilai seni dan spiritual yang ada di Pencak. Jika  jurus yang indah tanpa energi tentu tiada guna, sedangkan jika jurus dan energi saja tanpa diiringi dengan pendalaman spiritual cenderung sifat sombong dan kesewenang-wenangan akan muncul dalam dirinya (adigang,adigung lan adiguna). Untuk itu bagi setiap insan yang mendalami Pencak Silat, hendaknya senantiasa menguasai ketiga hal diatas. Karena menurut saya itulah sejatinya seorang pesilat/pendekar.

Salam.


Pustaka :
wikipedia/pencak_silat.