Minggu, 12 Mei 2013

Harmonisasi Budaya Jawa terhadap Budaya Asing


Jika kita berbicara mengenai budaya Jawa,  tentu hal ini tidak akan lepas dengan keberadaan Surakarta dan Yogyakarta sebagai pusat Budaya Jawa. Keduanya merupakan penerus Dinasti Mataram Islam selaku penguasa Tanah Jawa setelah berakhirnya Kerajaan Demak dan Keraton Pajang ,dua kerajaan yang juga menganut Islam sebagai ideologi kerajaan.  Berawal dari kenyataan itu, maka tidak heran jika ditengah-tengah masyarakat Surakarta dan Yogyakarta serta daerah disekitarnya masih sangat kental dengan kegiatan budaya, baik itu dalam bentuk perilaku maupun dalam bentuk lain seperti kesenian (seni tari, wayang, tembang dsb). Sebutan sebagai masyarakat Jawa pun akhirnya lebih identik pada dua daerah tersebut, meskipun hal ini kurang tepat jika ditinjau dari sudut pandang antropologi budaya. Dalam antropologi budaya, Masyarakat Jawa adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialeknya secara turun temurun. Suku bangsa Jawa  adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua  daerah tersebut. Secara geografis  suku bangsa Jawa mendiami tanah Jawa yang meliputi Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri, sedangkan diluar itu  dinamakan pesisir dan Ujung Timur.
Hinduisme dan Budhisme dalam Budaya Jawa
Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang ramah, tidak hanya dalam bentuk perilaku / tindak-tanduk tetapi juga terhadap pengaruh luar yang masuk. Sebelum datangnya masa agama Hindu dan agama Budha oleh para pedagang dari India dan Cina, masyarakat Jawa sudah dikenal memiliki kepercayaan terhadap adanya suatu kekuatan magis dan pemujaan terhadap ruh-ruh leluhur dalam kehidupan mereka yaitu animisme dan dinamisme. Pada prinsipnya semua agama mempunyai sisi mistis / ghaib, yaitu tentang adanya Sang Pencipta dan kehidupan setelah meninggal. Prinsip tersebut merupakan entry point antara budaya Jawa dengan  semua agama yang masuk ke Tanah Jawa bertemu. Baik itu agama Hindu, Budha,Islam dan Kristen. Terlebih agama Hindu dan Budha, ketika kedua agama tersebut berkembang dengan pesat di Jawa, justru budaya Jawa ini mampu menyerap unsur-unsur Hinduisme dan Budhisme yang ada dan melahirkan budaya Jawa yang bernafaskan Hindu-Budha. Dijelaskan menurut Simuh, (1996:115), Proses yang terjadi bukan sekedar akulturasi saja, tetapi yang terjadi justru kebangkitan budaya Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama India tersebut. Bangkitnya budaya Jawa seperti yang dijelaskan oleh Simuh, tidak lepas dengan salah satu kelebihan masyarakat Indonesia yang memiliki kecakapan istimewa yang disebut local genius. Menurut Hasyim,M dijelaskan dalam blognya, Bangsa Indonesia memiliki apa yang disebut dengan istilah local genius, yaitu kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam perjalanannya, akulturasi dari budaya Jawa dengan pengaruh Hindu-Budha memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan orang Jawa. Selain memperhalus dan memberikan identitas baru dalam tradisi Jawa, pengaruh yang muncul pun sangat mengakar kuat dalam setiap kehidupan masyarakat Jawa. Contohnya dalam bidang sastra, cerita Mahabarata yang sebetulnya merupakan cerita asli orang India, digubah oleh Mpu Wyasa seolah-olah tokoh dan peristiwa benar-benar terjadi di Jawa dan menjadi cerita legenda tanah Jawa. Ditambah dengan kehadiran beberapa tokoh-tokoh baru yang sebetulnya tidak pernah ada di cerita aslinya seperti Punakawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong), Wisanggeni, Antareja, Antasena dan lain-lain. Bahkan lebih dari sebuah seni tradisi, karena sangat mengakar kuat tercatat ketika Zaman Kerajaan Majapahit tepatnya pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk muncul suatu agama baru yang disebut Hindu-Budha. Suatu agama yang terbentuk karena proses akulturasi Jawa dengan agama Hindu dan Budha maka dari itu dikenal dengan istilah agama budaya.
Islamisasi Budaya Jawa
Menjelang berakhirnya masa Kerajaan Majapahit sebagai simbol kebesaran agama Hindu-Budha di tanah Jawa, tercatat di pesisir tanah Jawa telah ada komunitas muslim yang hidup menetap bahkan beraktifitas sebagai pedagang. Bahkan permaisuri dari Prabu Brawijaya V yang bernama Ratu Andarawati pun telah memeluk Islam. Begitu juga dengan putera Prabu Brawijaya V dengan salah satu selirnya yaitu Raden Fatah (dikenal dengan Raden Patah), pun telah memeluk Islam. Runtuhnya Kerajaan Majapahit di tangan Prabu Girindrawardhana dari Kerajaan Kadiri, membuka era baru bagi perkembangan budaya Jawa. Hal ini tidak lepas karena berdirinya Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yaitu Kerajaan Demak Bintoro. Islam yang semula hanya berada di wilayah pesisir, akhirnya pun segera berkembang pesat di seluruh pelosok tanah Jawa. Perkembangan Islam di tanah Jawa tidak bisa dilepaskan dari jasa-jasa Dewan Wali yaitu suatu kumpulan mubaligh/ulama pada masa itu, yang dikenal dengan Walisanga.
Metode yang dilakukan oleh beberapa anggota Walisanga cukup moderat dan beragam. Ada yang mengambil jalur pendidikan seperti yang dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel dan Sunan Muria adapula yang mengambil jalur seni dan budaya seperti yang dilakukan oleh Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus dan Sunan Giri. Budaya Jawa yang bernafaskan Hindu-Budha pada masa awal penyebaran Islam, dapat berjalan beriiringan. Lambat namun pasti, Islam mulai masuk ke kebiasaan orang Jawa saat itu. Acara selametan yang identik dengan puji-pujian/kidung diubah dengan do’a-do’a yang lebih islami. Sesaji/sajen yang biasa dilakukan terhadap pemujaan dewa digantikan ke kegiatan yang lebih bermanfaat yaitu sedekah. Sedekah dilakukan oleh kerajaan/Kraton untuk menyantuni rakyatnya yang berupa pemberian hasil bumi. Di daerah Kudus sampai saat ini sebagian masyarakatnya masih tidak meyembelih sapi, hal ini merupakan seruan dari Sunan Kudus saat itu untuk menghormati kepercayaan Umat Hindu. Dalam seni dan sastra, nuansa Islampun juga terasa. Salah satu contoh yang kita kenal sampai dengan saat ini yaitu tembang macapat. Selain itu tembang-tembang dolanan seperti lir-ilir, jamuran dan cublak-cublak suweng pun merupakan peninggalan para penyebar Islam saat itu. Sunan Kalijaga dikenal sebagai sosok yang paling berpengaruh terhadap penyebaran Islam melalui pendekatan budaya. Pengetahuannya yang sangat luas mengenai budaya Jawa dan kecerdasannya berhasil menggabungkan unsur-unsur islam kedalam budaya Jawa masyarakat saat itu, bahkan tetap terjaga sampai saat ini. Metode oleh para wali ini dikenal dengan sinkreteisme.
Dalam pandangan Zamakhsyari Dhofier, ada dua tahap penyebaran Islam di Pulau Jawa, yaitu tahap pertama dimana orang menjadi Islam sekedarnya, yang selesai pada abad ke 16, dan tahap kedua adalah tahap pemantapan untuk betul-betul menjadi orang Islam yang taat yang secara pelan-pelan menggantikan kehidupan keagamaan yang lama. Dari pandangan tersebut, dapat dipahami jika Islam pada zaman walisanga merupakan tahap penyebaran pertama di Indonesia. Menurut Arif Setyawan, dijelaskan Sultan Agung Hanyokrokusumo yang mengawali tahap pemantapan melalui pendidikan Islam secara massal kepada masyarakat Jawa. Di setiap kampung diadakan tempat untuk belajar membaca Al Qur’an, tatacara beribadah dan tentang ajaran dasar Islam seperti rukun iman dan rukun Islam.Saat itu, apabila ada anak berusia 7 tahun belum bisa membaca al Qur’an, ia akan malu bergaul dengan teman-temannya. Para guru agama ini diberi gelar Kyahi Anom oleh pihak kraton.  Di tingkat kadipaten didirikan pesantren yang dipimpin oleh Kyahi Sepuh. Pola penyebaran Islam seperti yang dilakukan oleh Sultan Agung inilah yang semakin memantabkan Islam dalam kehidupan masyarakat Jawa. Sultan Agung pun mensinkronkan antara penanggalan Jawa dengan penanggalan Islam (Hijriyah). 1 Sura disesuaikan dengan 1 Muharam, sehingga sampai dengan saat ini kita masih dapat melihat untuk makna Hijriahnya diperingati di masjid-masjid dalam pengajian, sedangkan makna Suran masih dijalankan oleh masyarakat Jawa untuk berintrospeksi diri, merenung menjauhkan diri dari aktifitas kehidupan.
Dengan demikian sebetulnya budaya Jawa tidak pernah terpinggirkan dan tidak pernah punah. Budaya asing yang masuk melalui agama Hindu dan Budha, justru memberi warna baru bagi budaya Jawa zaman purba. Begitu juga dengan pengaruh Islam di Jawa,  pengaruhnya justru semakin menambah warna budaya Jawa. Menurut hemat saya, budaya akan selalu berkembang dan berjalan dengan dinamis, begitu juga dengan Budaya Jawa akan selalu berkembang dan memproses dirinya mengikuti perkembangan jaman.

Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Rangga Warsita, (Jakarta:UI-Press, 1998), Hlm. 278.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1982) hal. 12
//hasheem.wordpress.com/bahan-ajar
//www.alumnipii.org/2012/08/17/islamisasi_dan_kristenisasi_kebudayaan_studi_kasus_budaya_Jawa_tulisan_kedua

Minggu, 05 Mei 2013

Saudara Serumpun Setia Hati (SH)

Setia Hati (SH) merupakan salah satu aliran Pencak Silat yang cukup mahsyur di Indonesia, didirikan di Tahun 1903 oleh Ki Ngabehi Suryodiwiryo. Pengalamannya melanglang buana ke beberapa daerah di Jawa dan Sumatera, mengantarkannya kepada beberapa pendekar untuk mendalami Pencak Silat. Diantaranya aliran pencak silat tanah sunda,aliran Betawi,Aceh dan Silek Minangkabau. Ki Ngabehi Surodiwiryo merangkum intisari dari permainan Pencak Silatnya menjadi beberapa jurus dan mendirikan sebuah perguruan Setia Hati. 
Disini saya tidak akan mengulas lebih dalam tentang sejarah SH, justru sebaliknya disini kita akan melihat aliran SH di era saat ini. Pada era kekinian, SH terpecah menjadi beberapa diantaranya yang eksis yaitu SH Panti, Persaudaraan Setia Hati Terate, Persaudaraan Setia Hati, dan SH Tunas Muda Winongo. Dari keempat rumpun Setia Hati tersebut, setahu saya hanya SH Panti yang berwujud Paguyuban, sedangkan ketiga lainnya sudah bertransformasi sebagai sebuah organisasi. Dalam perkembangannya saat ini, Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan SH Tunas Muda Winongo lebih familiar di masyarakat karena dikenal memiliki anggota yang banyak. Sedangkan SH Panti dan Persaudaraan Setia Hati (PSH) meskipun masih aktif, namun mereka relatif lebih menarik diri (private) dibanding dengan yang lainnya. 
Perkembangan jumlah anggota dari PSHT dan SH Tunas Muda Winongo yang cukup pesat ini, tak ayal pada tataran paling bawah sering menimbulkan benturan-benturan diantara kedua organisasi.Hal ini sering kita jumpai ketika memasuki bulan syuro atau lebih dikenal dengan istilah suran. Tentu hal ini sangat memprihatinkan, suran yang seharusnya dijadikan momentum untuk mawas diri, berintrospeksi diri, berziarah ke leluhur guna mengenang dan memahami  hakikat ilmu Setia Hati / ke-SH-an justru seringkali diwarnai dengan adu fisik dan pertumpahan darah antar oknum kedua organisasi. Hal ini harus kita hentikan!!tidak boleh dilanjutkan lagi, hakikat seorang pendekar menggunakan keprigelan (ketangkasan) dalam olah kanuragan/pencak nya hanya untuk membela masyarakat lemah dan negara dari ancaman lawan. sedangkan seorang yang mengaku pendekar hanya untuk pamer kekuatan karena dilandasi sifat arogan dan sombong tidak lebih dari sebuah begal / preman. Maka dari itu, kepada seluruh sedulur-sedulur rumpun SH, monggo kita tinggalkan sifat arogan,sombong,pengen golek benere dewe, mari kita bangun silaturrahim antar saudara SH. Pecahnya SH menjadi beberapa aliran ini merupakan sebuah pilihan dari masing-masing pendiri. Semua mempunyai tujuan yang sama membentuk manusia SH seutuhnya hanya caranya berbeda melalui aturan organisasi masing-masing.
Salam Persaudaraan...mugi sedaya kadang-kadang SH se-rumpun, tansah pinaringan berkahipun Gusti ALLAH SWT.....